LCB
Zurück

Suara Masjid Kami

16.01.23Feby Indirani

Rumah saya hanya berjarak satu menit jalan kaki dari masjid, yang merupakan berkah, tapi sayangnya juga kerap menjadi masalah.

Masjid ini selalu menjadi bagian penting dalam kehidupan keluarga saya yang telah menetap di sini sejak 1970-an. Ibu saya selalu bilang, impiannya tercapai ketika beroleh rumah ini,  karena ia ingin mendekatkan diri kepada Allah. Puluhan tahun ia rutin mengaji dan menjadi pengurus masjid. Bapak saya juga rutin sholat berjamaah di sana, terutama setelah ia pensiun. Di usia kanak-kanak, saya dan ketiga kakak saya bersekolah agama Islam di petang hari di lingkungan masjid, sambil bermain dan berteman. Memori indah yang akan selalu jadi bagian dalam masa-masa pertumbuhan saya.  Ceramah-ceramah dari masjid ini, sebagian masih melekat dalam ingatan saya. Banyak cerita-cerita hikmah yang dituturkan, yang membantu saya tidak hanya mempelajari Islam tapi juga kemanusiaan.

Namun setidaknya sejak satu dekade terakhir, entah bagaimana ada perubahan kebijakan pengurus masjid dalam menggunakan pengeras suara sehari-hari. Pengurus masjid jadi lebih sering menggunakan pengeras masjid luar dengan sangat keras, lebih dari pada ukuran kenyamanan yang sepatutnya, lebih daripada sebelumnya. Sampai sekarang sesekali saya masih terlonjak kaget, saking kerasnya suara azan itu.  Pengeras suara luar di masjid dekat rumah saya, digunakan tidak hanya lima kali sehari saat azan, tapi juga untuk ceramah seusai salat Subuh, ceramah antara waktu Magrib dan Isya, dan khutbah salat Jumat. Di bulan Ramadan ketika intensitas beribadah umumnya ditingkatkan, suasana menjadi lebih ingar bingar lagi.

Keadaan itu memburuk dalam lima tahun terakhir, ketika suhu politik di Indonesia memanas dengan penggunaan politik identitas Islam demi memenangi pemilu.  Suara penceramah yang keras dan marah, membahana tak segan memaki kandidat pemimpin daerah yang dianggap bertentangan dengan islam. Di sisi lain, memprotes pengeras suara masjid kerap disamakan dengan membenci Islam.

Pada 2019, Meiliana warga Tanjung Balai, Sumatera Utara yang mengeluhkan pengeras suara masjid akhirnya harus mendekam 18 bulan di penjara dengan dakwaan penistaan agama.  Hal ini membuat kebanyakan warga, termasuk saya, enggan menyampaikan protes secara langsung. Sebagai penulis, saya menuangkan persoalan pengeras suara masjid ke dalam sebuah cerpen berjudul “Rencana Pembunuhan Sang Muazin” yang pernah tayang daring di situs berita detik.com dan dibukukan ke dalam koleksi cerita “Bukan Perawan Maria.” Ini salah satu cerpen saya yang paling banyak mendapatkan respon dari mereka yang merasa senasib, dan paling diingat oleh pembaca saya.

Saya senang dengan penerimaan atas cerpen tersebut, tapi persoalan nyatanya belum kunjung teratasi.

Bagi saya, pengeras suara masjid ini kerap membuat sulit berkonsentrasi dalam menulis. “Seorang perempuan yang ingin menulis fiksi, haruslah memiliki uang dan ruang pribadinya,” tulis Virginia Wolf dalam esainya pada 1929. Saya masih berjuang untuk memiliki keduanya,  Dan ruang pribadi ini tentunya termasuk ruang pendengaran, yang kerap jadi kemewahan meskipun saya berada di kamar sendiri.

Di Indonesia, persoalan pengeras suara masjid adalah perihal berebut pengaruh di ruang publik. Keluhan warga tentang pengeras suara masjid yang mengganggu kenyamanan telah muncul selama bertahun-tahun, bahkan pernah ditulis media internasional. Sudah menjadi bisik-bisik warga, bahwa rumah yang dekat dengan masjid cenderung jatuh harganya, karena pengeras suara yang kerap digunakan berlebihan. Aturan dari Kementerian Agama sebetulnya sudah jelas, pengeras suara luar hanya boleh digunakan untuk azan. Tapi siapa yang bisa mengawasi penerapannya sehari-hari?

Sebagaimana saat masa kecil saya, masjid-masjid masih menjadi ruang belajar dan bertumbuh bagi warga, memelihara perasaan bermasyarakat, diterima dan menjadi bagian dari sebuah kelompok. Bagi sebagian orang, pengeras suara masjid mungkin juga jadi semacam percobaan diri untuk hadir di dunia, upaya untuk mendengar suara mereka teramplifikasi dan peluang eksistensi diri. Di sejumlah masjid, suara anak-anak yang sedang belajar mengaji, kerap menggunakan pengeras suara luar masjid, tertatih mengeja huruf demi huruf, sambil kadang diselingi celoteh riang. Mengharukan, sekaligus menjengkelkan. Tapi mungkin bagi anak-anak tersebut, hanya itulah cara mereka bergembira di tengah situasi perkotaan yang makin padat dan minim ruang bermain.

Persoalan pengeras suara masjid yang tak taat aturan, kerap diperparah dengan suara muazin yang juga tak selalu merdu. Salah seorang bapak yang paling sering melantunkan azan itu, tetangga kami, Pak Ahmad (bukan nama sebenarnya) berusia 70-an. Tubuhnya yang tidak tinggi masih tampak tegap, dengan kopiah putih yang menutupi rambutnya yang juga memutih.  ia tulus dan sangat bersemangat hingga dalam sehari ia bisa berazan untuk tiga waktu salat sejak waktu Subuh. Namun suaranya sengau dan melodinya begitu sumbang, yang dengan pengeras suara bervolume amat keras menjadi kombinasi mematikan.

Pernah berpapasan di jalan dengan kakak perempuan saya, Pak Ahmad bercerita dengan mata berbinar bahwa ia rajin minum asam Jawa demi merawat pita suaranya. Saya mendengar cerita itu dengan hati miris, karena sebanyak apapun asam Jawa yang diminumnya tak akan menjadikan suara azannya indah.

Suatu hari saya dengar dari bapak saya yang kerap salat berjamaah bahwa pengurus masjid mengimbau Pak Ahmad untuk mengurangi frekuensinya berazan. Mungkin bukan hanya kami yang merasa suara azannya –alih-alih menginspirasi orang beribadah– justru menganggu.

Kakak saya sempat bertemu lagi dengan Pak Ahmad dan wajahnya kelihatan murung. Gerak tubuhnya lesu dan kabut membayangi matanya.  Memikirkan bahwa larangan pengurus masjid tersebut yang menjadi penyebabnya, membuat saya iba. Mungkin saja berazan merupakan satu-satunya ruang yang membuat Pak Ahmad merasa ada dan berarti di usia senjanya, bahwa suaranya yang melantunkan nama Allah dan memanggil orang salat,  terdengar ke seluruh penjuru lingkungan. Mengambil kesempatan itu darinya terasa sebagai keputusan yang kejam.

Setelah berbulan-bulan Pak Ahmad tidak atau amat jarang berazan, kami kemudian kembali lebih sering mendengar suaranya, sampai kembali sesering sebelumnya.  Ternyata pengurus masjid kekurangan muazin, sehingga Pak Ahmad kembali dibiarkan berazan. Suaranya masih sengau dan melodinya masih sumbang, tapi sekarang saya mendengarnya dengan perasaan yang berbeda, mengingat jalannya yang kembali tegap dan matanya yang kembali bersinar.

Meskipun saya masih sulit memliki ruang pribadi untuk menulis.

Die Stimme unserer Moschee

16.01.23Feby Indirani

Unser Haus liegt nur eine Gehminute von der Moschee entfernt, was ein Segen, aber leider nicht selten auch ein Problem ist.

Seit den 1970er Jahren lebt meine Familie dort, und die Moschee ist seither ein wichtiger Teil unseres Lebens. Meine Mutter sagt immer, sie wolle näher zu Allah kommen und so habe sich mit dem Erwerb des Hauses ein Traum erfüllt. Seit Jahrzehnten gehört das Lesen des Korans zu ihrer täglichen Routine und zu Zeiten kümmerte sie sich als Verwalterin um die Angelegenheiten der Moschee. Auch mein Vater schließt sich dort regelmäßig dem gemeinschaftlichen Gebet an, vor allem seit er pensioniert ist. Als Kinder besuchten meine drei älteren Geschwister und ich nachmittags die der Moschee angeschlossenen islamische Religionsschule, dort spielten wir und knüpften Freundschaften. Es sind schöne Erinnerungen, mit denen alle Kapitel meines Heranwachsens verwoben sind. Etliche der Ansprachen, die ich in der Moschee hörte, sind mir lebhaft in Erinnerung geblieben. Die dort erzählten Geschichten steckten voller Weisheiten und halfen mir nicht nur beim Studium des Islam, sondern auch dabei, die Bedeutung von Menschlichkeit verstehen zu lernen.

Im Laufe der mindestens letzten zehn Jahre muss sich jedoch auf irgendeine Weise die Strategie der Moscheenverwalter zum täglichen Einsatz der Lautsprecher geändert haben. So stellen sie die Außenlautsprecher häufiger auf sehr hohe Lautstärke ein, lauter als früher und lauter als das angemessene, für die Ohren angenehme Maß. Manches Mal schrecke ich auf, wenn der Gebetsruf einsetzt, derart laut ist es. Die Außenlautsprecher der Moschee in der Nähe unseres Hauses kommen nicht nur fünf Mal am Tag für den Gebetsruf (Azan) zum Einsatz, sondern auch für Ansprachen nach dem Morgengebet (Subuh), den Ansprachen in der Zeit zwischen dem Gebet zum Sonnenuntergang (Maghrib) und dem Abendgebet (Ischa) sowie für die Predigten zum Freitagsgebet. Im Fastenmonat Ramadan, wenn das Beten für gewöhnlich an Intensität und Häufigkeit zunimmt, wird das Klima geradezu frenetisch.

Die Lage hat sich in den letzten fünf Jahren weiter zugespitzt, in einer Zeit, in der die politische Stimmung in Indonesien noch dadurch aufgeheizt wird, dass islamische Identitätspolitik im Vorfeld von Wahlen mit dem Ziel propagiert wird, die Wahlergebnisse entsprechend zu beeinflussen. Lautstark und empört sind die Stimmen der Redner zu hören, die ohne zu zögern die Kandidaten für die zu besetzenden kommunalen Führungspositionen als islamfeindlich diskreditieren. Dagegen werden Beschwerden gegen Moscheenlautsprecher häufig mit Hass auf den Islam gleichgesetzt.

Meiliana, eine Frau aus der Stadt Tanjung Balai in Nordsumatra, die sich 2019 über die Lautsprecher einer Moschee beschwert hatte, wurde wegen Blasphemie angeklagt und saß für 18 Monate im Gefängnis. Das führte dazu, dass viele, ich eingeschlossen, offene Beschwerden vermeiden. Als Autorin ließ ich die Problematik der Moscheenlautsprecher in eine Kurzgeschichte einfließen. Mit dem Titel Rencana Pembunuhan Sang Muazin (Der Plan, den Muezzin zu töten) erschien die Geschichte zunächst online auf der Nachrichtenseite detik.com und wurde anschließend in meinem Kurzgeschichtenband Bukan Perawan Maria (Nicht die Jungfrau Maria) veröffentlicht. Sie gehört zu den Kurzgeschichten, die meinen Lesern besonders im Gedächtnis bleiben und auf die es die meisten Reaktionen von jenen gibt, die das Gefühl haben, das gleiche Los zu teilen.

Ich freue mich zwar über die Anerkennung der Kurzgeschichte, eine Lösung des eigentlichen Problems aber ist nicht in Sicht.
Die Lautsprecher der Moschee machen es mir oft unmöglich, mich auf das Schreiben zu konzentrieren. „Eine Frau muss Geld und einen Raum für sich haben, um Literatur zu verfassen.“, schrieb Virginia Woolf in ihrem Essay Ein Zimmer für sich allein von 1929. Nach wie vor ringe ich um beides. Zum eigenen Raum gehört natürlich auch die Akustik, die für mich auch dann oft ein Luxusgut bleibt, wenn ich allein in meinem eigenen Raum bin.

In Indonesien geht es bei dem Problem der Moscheenlautsprecher darum, wer den Kampf um Einfluss im öffentlichen Raum für sich entscheiden kann. Beschwerden von Anwohnern wegen Ruhestörung durch die Lautsprecher einer Moschee gibt es seit Jahren, selbst in der internationalen Presse wird darüber berichtet. Hinter vorgehaltener Hand heißt es unter den Anwohnern, dass Häuser in der Nähe einer Moschee tendenziell im Wert fallen, weil deren Lautsprecher häufig überdreht werden. Die Verordnung des Ministeriums für Religiöse Angelegenheiten sagt eigentlich deutlich, dass Außenlautsprecher ausschließlich für den Gebetsruf eingesetzt werden dürfen. Aber wer sollte schon die Befolgung der Verordnung an allen Tagen vor Ort überwachen?

So wie es für mich als Kind war, sind Moscheen für ihre Anwohner auch heute noch Orte des Lernens und Reifens, hier nähren sie das Gefühl, zu einer Gemeinschaft zu gehören, akzeptiert und Teil einer Gruppe zu sein. Manchen dient der Moscheenlautsprecher vielleicht zur Überprüfung der eigenen Existenz in der Welt, ein Versuch, ihre Stimme verstärkt zu hören, eine Möglichkeit, sich des eigenen Daseins zu vergewissern. In vielen Moscheen sind über die Außenlautsprecher häufig Stimmen von Kindern zur hören, wie sie den Koran lesen und holpernd Buchstabe für Buchstabe auszusprechen versuchen, begleitet von fröhlichem Geplapper im Hintergrund. Das ist rührend und ärgerlich zugleich. Aber für die Kinder ist es vielleicht die einzige Möglichkeit, in einem immer beengter werdenden urbanen Umfeld mit wenig Raum zum Spielen ausgelassen zu sein.

Das Problem nicht regelkonform eingestellter Moscheenlautsprecher wird häufig durch die nicht immer wohlklingende Stimme des Muezzins verschärft. Einer der Männer, die in unserer Moschee meist zum Gebet rufen, ist unser Nachbar Herr Ahmad (er heißt in Wirklichkeit anders). Er ist in seinen Siebzigern und wenn nicht von großer, so aber von aufrechter Statur, sein graues Haar wird von einer weißen Kappe (Kopiah) bedeckt. Er ist rechtschaffen und so eifrig, dass er an einem Tag, beginnend mit dem Morgengebet, dreimal zum Gebet rufen kann. Seine Stimme allerdings klingt durch die Nase gepresst und er trifft kaum einen richtigen Ton – bei sehr hoch eingestellten Lautsprechern eine mörderische Kombination.

Meine ältere Schwester begegnete ihm einmal zufällig auf der Straße, und da erzählte Herr Ahmad ihr mit strahlenden Augen, er würde regelmäßig javanischen Tamarindensaft trinken, um seine Stimmbänder zu pflegen. Das zu hören bedrückte mich, denn ganz gleich wie viel Tamarinde er trank, es würde seinen Gebetsruf nicht schöner klingen lassen.
Etwas später hörte ich von meinem Vater, der oft in der Gemeinschaft betet, dass der Moscheenverwalter Herrn Ahmad in aller Deutlichkeit nahe gelegt hatte, die Häufigkeit seiner Gebetsrufe zu reduzieren. Vermutlich waren wir nicht die Einzigen, die seinen Gebetsruf, der die Gläubigen ja gerade zum Gebet inspirieren sollte, als störend empfanden.

Meine Schwester traf Herrn Ahmad ein weiteres Mal, nun aber, so erzählte es meine Schwester, habe er einen finsteren Gesichtsausdruck gehabt. Er habe sich träge bewegt und über seinen Augen habe ein Schatten gelegen. Bei dem Gedanken, die Forderung des Moscheenverwalters könne die Ursache sein, tat Herr Ahmad mir leid. Vielleicht war der Moment des Gebetsrufs, wenn seine Stimme in der gesamten Umgebung zu hören war, wie sie den Namen Allahs singt und die Menschen zum Gebet ruft, für Herrn Ahmad der einzige Ort, an dem er sich existent und in seinem fortgeschrittenen Alter noch bedeutungsvoll fühlte. Die Entscheidung, ihm diesen Raum zu nehmen, erschien mir grausam.

Nachdem Herr Ahmad monatelang gar nicht oder nur äußerst selten zum Gebet gerufen hatte, bekamen wir seine Stimme irgendwann wieder öfter und schließlich so oft wie früher zu hören. Wie sich herausstellte, konnten die Moscheenverwalter auf nicht genügend Muezzine zurückgreifen, und so gestatteten sie Herrn Ahmad wieder, zum Gebet zu rufen. Immer noch klingt seine Stimme durch die Nase gepresst und er trifft kaum einen richtigen Ton, aber jetzt höre ich sie mit einem anderen Gefühl, denn ich sehe ihn vor meinen Augen mit seinem aufrechten Gang und seinen strahlenden Augen.

Auch wenn es für mich nach wie vor schwierig bleibt, zum Schreiben einen Raum für mich allein zu haben.

Übersetzung: Sabine Müller

The Voice of our Mosque

16.01.23Feby Indirani

My house is just a one-minute walk away from a mosque, which is a blessing, but unfortunately often also a problem.

This mosque has always been an important part in the life of our family who have lived here since the 1970s.  My mother always said, her dream was fulfilled when they got this house, because she wished to bring herself closer to Allah.  For decades she routinely recited the Qur’an there and was an organizer of the mosque.  My father also routinely prays there, especially since he retired.  When I was young, my three older siblings and I went to the Islamic school at the mosque in the evenings, while playing with friends.  Those beautiful memories will always be a part of my growing up period.  Some of the lectures from this mosque remain rooted in my memory.  Many insightful stories were told which helped me not only to study Islam but also humanism.

However, at least within the last decade, I don’t know how, but there has been a change in the policy of the mosque organizers regarding the everyday use of the loudspeaker.  Now more often the mosque organizers use the outside loudspeaker very loudly, louder than the comfortable level it should be, louder than before.  Until today, every now and then, I still jump up startled, due to the volume of the call to prayer.  The loudspeaker outside the mosque near my home is used not just five times a day for the call to prayer, but also for lectures after Subuh (dawn prayers, about 4:13 am), the lecture between Maghrib (dusk prayers, about 6:08pm) and Isya (evening prayers, about 7:24 pm), and the sermon at Friday prayers.  In the fasting month of Ramadan, when the intensity of praying usually increases, the atmosphere becomes even more noisy.

That situation has gotten worse in the last five years, as the political climate in Indonesia has grown hotter with the use of Islamic political identity for winning elections.  The voices of the lecturers, which are loud and angry, echo not hesitating to abuse candidates for regional leaders considered to be in opposition to Islam.  On the other hand, to protest against the loudspeaker of a mosque is often seen as hating Islam.

In 2019, Meilana a resident of Tanjung Balai, North Sumatra who complained about a loudspeaker in a mosque ended up spending 18 months in prison sentenced for insulting religion.  This made many people, including me, reluctant to protest directly.  As a writer, I poured the problem of the mosque loudspeaker into a short story titled, “Rencana Pembunuhan Sang Muazan” (The Plan to Murder the Muezzin) which was aired on line at the news site detik.com and published in the short story collection, “Bukan Perawan Maria” (Not the Virgin Mary).  This was one of my stories that gained the most responses from those who felt they suffered the same fate, and is the story my readers remember most.

I am happy with the way my story has been received, but the real problem has not been solved.

For me, the mosque loudspeaker often makes it difficult to concentrate on my writing.  “A woman must have money and a room of her own, if she is to write fiction” wrote Virginia Wolf in her 1929 essay.  I’m still struggling to have both of these, and a room of my own of course includes the sound of the space, which is always a luxury even though I am in my own room.

In Indonesia, the problem of mosque loudspeakers is about fighting over influence in the public sphere.  Residents’ complaints about mosque loudspeakers disturbing the peace have appeared for years, and have even been written about in international media.  It’s become gossip among residents that if a house is near a mosque it will tend to lower its price, because of the loudspeaker that is often over the top. The rules from the Religious Affairs Ministry are clear, that an outdoor loudspeaker is only allowed to be used for the call to prayer.  But who can oversee that on a daily basis?

As in my childhood, mosques are still a place for residents to learn and grow, to nurture feelings of being a community, being accepted and becoming part of a group.  For many people, loudspeakers may also be a kind of personal test of their presence in the world, an attempt to hear their voices amplified and a chance for self-existence.  In a number of mosques, children learning to recite the Qur’an, often use the mosque loudspeaker as they struggle to spell and pronounce letter by letter, sometimes surrounded by giggles and lively chatter.  It is touching and at the same time annoying.  But maybe for those children, that is their only chance to be happy amidst the increasingly dense urban conditions with little space for them to play.

The problem of mosque loudspeakers that do not follow the regulations, are often made worse when the voice of the Muezzin (caller to prayers) is not melodious. One of the men who sings the call to prayers most often is a neighbor of ours, Pak Ahmad (not his real name) who is in his 70s.  He is not tall but still stands upright, with a white cap that covers his hair which is also growing white.  He is sincere and very enthusiastic, so that in a day he can do the call to prayer at three different times starting with dawn prayers.  But his voice is nasal and the melody is out of tune, which over the loudspeaker with the volume turned up high is a deadly combination.

Once when he happened to cross paths with my older sister, Pak Ahmad with bright eyes told her how he often drinks Javanese tamarind for his vocal cords.  I heard that story with a heavy heart, because no matter how much Javanese tamarind he drinks, it will not make his voice beautiful for the call to prayer.

One day I heard from my father who often prays at the mosque that the mosque organizer had suggested to Pak Ahmad to decrease his frequency in singing the call to prayer.  Maybe it was not just us who felt that his voice, instead of inspiring people to worship, actually bothered people.

My sister met Pak Ahmad again and his face looked gloomy. His body movements were lethargic and his eyes appeared clouded over.  Thinking that the prohibition from the mosque organizer was the reason, made me feel pity.  Maybe doing the call to prayer was the one and only space that made Pak Ahmad feel he existed and had meaning in his old age, that his voice chanting the name of Allah and calling people to pray, could be heard throughout the neighborhood.  Taking that opportunity away from him felt like a cruel decision.

After months when Pak Ahmad never or very rarely sang the call to prayer, we started to frequently hear his voice again, until it was as often as before.  It turns out the mosque organizers did not have enough muezzin, so that Pak Ahmad was allowed to sing the call to prayer again.  His voice is still nasal and the melody is still out of tune, but now I hear him with a different feeling, remembering how he is walking tall once again and his eyes are bright.

Nonetheless, I still have trouble having a room of my own to write.

Translation: Marije Suanda

Drucken

Feby Indirani

Feby Indirani is an Indonesian author mainly focused on women and marginalized group issues.  She introduced the term Magical Islamism with her short story collections, Not Virgin Mary and Chasing Muhammad, which received international recognition. She initiated a campaign called Relax It’s Just Religion to promote freedom of thought, conscience and religion through arts and activism. She was in Berlin for the Crossing Borders fellowship in 2022.

 

 

 

Feby Indirani ist eine indonesische Autorin, die sich hauptsächlich mit Frauen und Randgruppen befasst.  Mit ihren Kurzgeschichtensammlungen Not Virgin Mary und Chasing Muhammad, die internationale Anerkennung fanden, führte sie den Begriff des Magischen Islamismus ein. Sie initiierte eine Kampagne mit dem Titel Relax It’s Just Religion zur Förderung der Gedanken-, Gewissens- und Religionsfreiheit durch Kunst und Aktivismus. Im Jahr 2022 war sie im Rahmen des Crossing Borders-Stipendiums in Berlin.

 

Feby Indirani is an Indonesian author mainly focused on women and marginalized group issues.  She introduced the term Magical Islamism with her short story collections, Not Virgin Mary and Chasing Muhammad, which received international recognition. She initiated a campaign called Relax It’s Just Religion to promote freedom of thought, conscience and religion through arts and activism. She was in Berlin for the Crossing Borders fellowship in 2022.

 

 

Toledo Logo
360